Mehdi Benatia: Bek Tengah Berkelas yang Nggak Banyak Drama, Tapi Penuh Kelas

Kalau lo penggemar Serie A, Bundesliga, atau fans Maroko, nama Mehdi Benatia pasti nggak asing. Tapi buat yang nggak terlalu ngikutin, mungkin nama dia nggak sepopuler Van Dijk atau Ramos. Padahal, Benatia adalah salah satu bek tengah terbaik yang pernah dimiliki Afrika dan dunia dalam satu dekade terakhir.

Dia bukan tipe bek yang teriak-teriak atau main keras tanpa arah. Justru sebaliknya—dia elegan, efisien, dan punya insting bertahan yang rapi banget. Mehdi Benatia itu kayak gabungan antara otot dan otak, fisikal tapi tetap penuh perhitungan.

Asal-Usul: Prancis vs Maroko

Mehdi Amine El Mouttaqi Benatia lahir pada 17 April 1987 di Courcouronnes, Prancis. Bokapnya asli Maroko, nyokapnya Aljazair. Tapi dia besar di sistem sepak bola Prancis, negara yang emang dikenal melahirkan banyak pemain bertahan top.

Karier mudanya dimulai di akademi Clairefontaine—ya, akademi elite Prancis yang juga ngebesarin Henry, Anelka, dan Mbappé. Tapi meski punya potensi, jalan Benatia ke atas nggak mulus-mulus amat. Dia sempat trial di banyak klub, dan akhirnya dapet kontrak di Marseille.

Sayangnya, di Marseille dia lebih sering duduk di bangku cadangan atau dipinjemin ke klub-klub kecil. Tapi lo tau lah—kadang justru dari momen-momen sepi itu, pemain bisa nemuin jati diri. Dan Benatia ngebuktiin itu.

Panggung Sebenarnya: Udinese dan Lompatan Karier

Setelah sempat main di Clermont dan Tours, akhirnya Benatia pindah ke Italia dan gabung ke Udinese tahun 2010. Di sinilah kariernya mulai meledak. Di Serie A yang terkenal banget sama taktik bertahan, Benatia nyetel dengan cepat. Dia bukan cuma jago duel, tapi juga cerdas secara posisi.

Selama dua musim di Udinese, dia jadi salah satu bek paling konsisten di liga. Fans Serie A mulai kasih perhatian. Pundit-pundit mulai nyebut namanya. Dan akhirnya, tawaran dari klub lebih besar pun datang.

AS Roma: Satu Musim, Tapi Melekat

Tahun 2013, Benatia pindah ke AS Roma, dan di sinilah reputasinya sebagai bek elite benar-benar lahir. Bersama manajer Rudi Garcia, Roma tampil luar biasa. Di musim 2013/14, mereka sempat unbeaten di 17 laga awal Serie A.

Dan Benatia? Jadi jantung pertahanan. Dia gabung bareng Maicon, Castán, dan De Sanctis buat bikin lini belakang Roma susah dibobol. Nggak cuma solid di belakang, dia juga nyetak 5 gol dari posisi bek tengah—statistik yang langka buat posisi itu.

Tapi sayangnya, hubungan dengan manajemen sempat renggang karena masalah kontrak. Dan akhirnya, dia pindah lagi—kali ini ke Jerman.

Bayern Munich: Jadi Bagian dari Mesin Raksasa

Tahun 2014, Benatia gabung ke Bayern Munich, klub terbesar di Jerman. Transfernya senilai €26 juta bikin dia jadi bek Afrika termahal saat itu. Di bawah Pep Guardiola, Benatia diharapkan jadi pengganti jangka panjang buat Dante dan Badstuber.

Tapi meskipun performanya solid, ada satu masalah besar: cedera. Di Bayern, Benatia kesulitan jaga kebugaran. Musim pertamanya dia cuma main 24 kali. Di musim kedua, lebih sedikit lagi.

Tapi tiap kali main, kualitasnya kelihatan. Dia tenang banget, punya distribusi bola yang bagus dari belakang, dan tetap jadi ancaman di bola mati. Cuma ya itu—fisik nggak pernah benar-benar bersahabat. Dan akhirnya, dia pindah lagi ke tempat di mana dia bisa dapet waktu main lebih banyak: balik ke Italia.

Juventus: Back to Business

Tahun 2016, Benatia gabung ke Juventus—pertama sebagai pinjaman, lalu dipermanenkan. Dan lagi-lagi, dia langsung nyetel. Bareng Chiellini dan Barzagli, dia jadi bagian dari pertahanan yang dikenal sebagai “tembok Italia.”

Dia ikut bantu Juve dapet dua gelar Serie A dan dua Coppa Italia. Salah satu momen paling diingat? Waktu dia bikin dua gol di final Coppa Italia 2018 lawan AC Milan. Nggak banyak bek yang bisa angkat trofi dan nyetak brace di final.

Tapi tetap, di Juve dia bukan pemain inti mutlak. Kadang rotasi, kadang main penuh. Dan setelah beberapa musim, dia memutuskan cabut—kali ini ke tempat yang jauh dari radar Eropa.

Qatar dan Penutup Karier

Tahun 2019, Benatia pindah ke Al-Duhail SC di Liga Qatar. Banyak yang bilang ini sinyal pensiun dini, tapi dia bilang ini soal keluarga, tantangan baru, dan kenyamanan. Dia tetap main serius, tetep jadi kapten, dan bantu tim juara liga lokal.

Tahun 2021, Benatia resmi pensiun dari sepak bola profesional. Tapi kariernya nggak berakhir sia-sia. Dia udah main di klub-klub top, bawa trofi, dan jadi panutan buat banyak bek muda Afrika.

Timnas Maroko: Lebih dari Sekadar Pemain

Di level internasional, Benatia adalah kapten dan ikon timnas Maroko. Dia debut tahun 2008 dan sempat main di Piala Dunia 2018, turnamen yang jadi pencapaian besar buat negara tersebut setelah absen lebih dari 20 tahun.

Dia juga tampil di beberapa edisi Piala Afrika dan bantu Maroko kembali relevan di kancah internasional. Bukan cuma skill-nya, tapi leadership-nya yang paling berpengaruh. Di ruang ganti, dia dikenal sebagai sosok dewasa, tenang, dan punya mental pemenang.

Total dia mengoleksi 60+ caps untuk Maroko, dan jadi salah satu bek terbaik dalam sejarah negara itu.

Gaya Bermain: Bek Pintar, Bukan Tukang Bentur

Benatia bukan bek yang asal tekel atau andalkan fisik doang. Dia main dengan otak. Positioning-nya rapi, tekel bersih, dan passing-nya cukup bagus buat bangun serangan dari belakang.

Dia juga tenang di bawah tekanan. Nggak gampang panik, nggak sering bikin blunder, dan tahu kapan harus sikat bola, kapan harus tahan. Dan walaupun tubuhnya gede, dia tetap lincah buat duel satu lawan satu.

Dia bukan Ramos yang agresif atau Chiellini yang beringas. Dia lebih ke model Raphael Varane atau Nesta: kalem, tajam, dan elegan.

Life After Football: Tetap Aktif di Dunia Sepak Bola

Setelah pensiun, Benatia tetap aktif. Dia mulai merambah ke dunia manajemen, agensi pemain, dan jadi semacam mentor buat pemain muda asal Afrika dan Prancis. Dia juga sering hadir di acara-acara amal dan sosial, terutama yang berhubungan dengan imigran Afrika.

Nggak banyak sensasi, nggak cari panggung, tapi tetap berkontribusi. Ciri khasnya banget.


Penutup: Benatia Adalah Definisi dari Kelas Tanpa Drama

Mehdi Benatia mungkin nggak sering masuk dalam daftar “bek terbaik sepanjang masa.” Tapi kalau lo ngomongin konsistensi, profesionalitas, dan kualitas permainan, dia jelas masuk jajaran elit.

Dia udah main di liga top Eropa, angkat trofi, bela negara dengan bangga, dan tetap rendah hati sepanjang perjalanan. Dalam dunia sepak bola yang sering ribut soal ego dan drama, Benatia nunjukin bahwa lo bisa tetap jadi top player tanpa harus teriak-teriak cari perhatian.

Dan buat pemain muda dari Afrika atau diaspora, dia adalah role model: lo boleh datang dari jalan yang nggak mulus, tapi dengan kerja keras dan fokus, lo bisa bikin nama lo bersinar.

Respect buat Benatia. Elegan, solid, dan selalu tangguh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *